Jumat, 27 November 2015

Dampak Krisis Pilot Nasional




Dunia Penerbangan nasional akhir-akhir ini menunjukkan fenomena ketimpangan dan ketidakwajaran. Banyak peristiwa yang muncul ke permukaan dan dipublikasi secara luas oleh media massa, dari mulai meningkatnya frekuensi kecelakaan pesawat terbang, delay dan pembatalan jadual penerbangan, demonstrasi dan mogok terbang para awak pesawat, hingga penggunaan narkoba dan zat psikotropika oleh beberapa penerbang.

Masalah-masalah ini muncul ke permukaan tidak berdiri sendiri, melainkan saling kait-mengait. Ibarat fenomena gunung es di tengah lautan, tentu masalah yang muncul ke permukaan itu lebih kecil dibanding masalah sebenarnya yang ada di bawah permukaan laut.

Atas keprihatinan saya yang besar terhadap kondisi penerbangan nasional akhir-akhir ini, lalu timbul gagasan untuk berusaha mencari jawaban sementara (hipotesis) dengan mengadakan riset sederhana dalam kurun waktu yang relatif singkat. Riset dimulai dengan mengumpulkan data dengan sumber sedapatnya, baik berupa data primer dari berbagai sumber resmi, maupun data sekunder dari berbagai sumber lainnya, termasuk media cetak dan elektronik, serta internet. Hasilnya kemudian dianalisis, memusatkan diri pada data yang signifikan dan mendukung hipotesis, dilakukan kajian dan sintesis menggunakan silogisme atas beberapa paramater termasuk kausalitas dan kaitannya, lalu dicari benang merahnya, sehingga akhirnya bermuara pada satu persoalan perenial, yaitu kekurangan pilot dan dampaknya bagi dunia penerbangan di tanah air yang hasilnya saya share disini.

Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Perhubungan RI memperkirakan kebutuhan akan tenaga pilot di kawasan Asia Pasifik hingga pada tahun 2029 mencapai 181.000 orang, dan kebutuhan akan teknisi pesawat udara mencapai 220.000 orang. Sedangkan kebutuhan pilot untuk seluruh maskapai penerbangan di tanah air mencapai 500 orang per tahun, namun sayangnya hanya bisa dipenuhi sebanyak 300 pilot saja. Ini berarti ada akumulasi jumlah yang semakin banyak setiap tahunnya sehingga menyebabkan krisis pilot di dunia penerbangan di tanah air.

A. Faktor Determinatif

Berbagai hal turut memberikan kontibusi terhadap krisis kekurangan pilot di dunia penerbangan tanah air ini. Adapun faktor determinatif (penentu) penyebab terjadinya krisis pilot di tanah air, adalah sebagai berikut:

1. Selama krisis ekonomi sejak tahun 1997 hingga tahun 2004, sekolah pilot kurang dilirik oleh masyarakat. Akibatnya selama kurun waktu itu perkembangan pilot ditanah air mengalami stagnasi dan negara kita kehilangan satu generasi pilot.

2. Kini setelah kondisi ekonomi Indonesia membaik dan seiring dengan kebutuhan mobilitas masyarakat akan jasa moda transportasi udara, maka ekspansi bisnis penerbanganpun meningkat. Dalam setahun didatangkan puluhan pesawat, tapi tidak diimbangi dengan penambahan jumlah pilot dan SDM pengelola bisnisnya.

3. Biaya sekolah pilot sangat mahal, berkisar antara Rp.300 juta hingga Rp.500 juta, akibatnya sangat sedikit orang yang mampu menjadi pilot. Penyebabmya adalah selain fasilitas pesawat latih dan simulator masih impor, juga ada beban pajak jenis barang mewah yang dikenakan atas fasilitas sekolah pilot tersebut.

4. Hal lain yang turut berkontribusi adalah pengajar atau instruktur di sekolah-sekolah pilot yang juga sangat minim jumlahnya. Seorang pilot senior lebih suka memilih terbang dengan pesawat jet komersial dan dibayar tinggi daripada harus menjadi instruktur. Honor seorang instruktur di berbagai sekolah penerbangan hanya Rp.100.000 per jam. Bandingkan dengan bayaran jam terbang seorang pilot pesawat jet komersial yang minimal Rp.150.000 per jamnya.

B. Solusi Pragmatis dan Tentatif

Solusi atas krisis pilot itu selama ini sayangnya tidak diselesaikan secara terencana dengan baik sehingga betul-betul mampu mengatasi masalah tersebut hingga tuntas, malah diselesaikan secara pragmatis dan eklektis (tambal sulam) yang hanya bersifat tentatif namun terus-menerus dilakukan hingga kini sehingga berdampak negatif secara signifikan dan berkelanjutan terhadap dunia penerbangan di tanah air.

Beginilah rupanya cara mereka mengatasinya. Untuk mengatasi kekurangan pilot di berbagai maskapai penerbangan di tanah air itu adalah dengan cara merangsang pilot yang ada dengan insentif khusus agar para pilot bersedia terbang melebihi batas (limit) jam terbang yang ditentukan. Misalnya untuk setiap kelebihan jam terbang dibawah 50 jam terbang dibayar Rp.150.000, tapi jika lebih dari 100 jam terbang untuk setiap jamnya dibayar dua kali lipat. Praktek seperti ini sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Akibatnya? Banyak pilot over-work dan kelelahan. Hal ini terbukti dari hasil investigasi Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) tahun lalu atas beberapa kecelakaan pesawat terbang yang hasilnya mengungkapkan bahwa ada beberpa pilot yang mengaku kelelahan karena lima hari berturut-turut harus terbang selama delapan jam.

Padahal ICAO (International Civil Aviation Organization), badan penerbangan sipil dunia, yang tertuang dalam CASR (Civil Aviation Safety Regulation) dengan tegas mengatur bahwa batas maksimum seorang pilot untuk terbang adalah 30 jam dalam seminggu, 110 jam dalam sebulan, dan1.050 jam dalam setahun. Pembatasan jam terbang seorang pilot itu tentu ditetapkan berdasarkan penelitian jangka panjang (longitudinal studies) terhadap daya tahan dan stamina fisik serta psikologis manusia dewasa. Jika hal ini dilanggar sudah barang tentu dikenakan sangsi berupa larangan terbang selama kurun waktu tertentu. Lebih dari itu tentu sangat membahayakan keselamatan penerbangan dan menurunkan kredibilitas dunia penerbangan nasional pada umumnya.

Cara lain yang ditempuh untuk mengurangi kekurangan pilot itu adalah dengan menggunakan jasa pilot-pilot asing dari berbagai negara dan dipekerjakan di berbagai maskapai penerbangan nasional walau dengan konsekuensi maskapai penerbangan harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi dibanding dengan menggunakan pilot-pilot tanah air yang terbatas jumlah dan kualifikasinya.

C. Dampaknya bagi Dunia Penerbangan di Tanah Air

Krisis pilot ini secara sepintas memang tidak tampak karena seolah dunia penerbangan nasional berjalan sebagaimana mestinya. Padahal jika ditelaah lebih jauh, meluas, mendalam dan secara komprehensif dengan berbagai acuan baku yang ada, maka tampaklah ketimpangan-ketimpangan dan masalah-masalah yang timbul sebagai dampak dari krisis pilot sebagaimana diuraikan di atas.

Adapun berbagai dampak krisis pilot yang diitimbulkannya yang muncul ke permukaan dan dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat pengguna jasa penerbangan adalah sebagai berikut:

1. Jadual penerbangan sering mengalami penundaan (delay) bahkan hingga pembatalan (cancel). Hal ini terutama terjadi pada maskapai-maskapai penerbangan yang melakukan ekspansi rute penerbangan dan mengalami penambahan pesawatnya tapi tidak diiringi penambahan pilot dan SDM pengelola bisnisnya seperti telah diuraikan di awal. Delay dan cancel tentu merugikan pengguna jasa penerbangan dan berdampak pada kerugian ekonomi dan non-ekonomi secara signifikan.

2. Meningkatnya aksi demonstrasi dan mogok terbang awak pesawat seperti dilakukan oleh pilot Garuda Indonesia, 28 Juli tahun lalu, dan beberapa maskapai lainnya di tanah air karena menghadapi persolan yang serupa. Hal ini terutama lebih banyak dipicu oleh kecemburuan sosial mengenai gaji dan insentif yang amat kontras antara pilot asing dengan pilot dalam negeri. Dampaknya jelas sangat mengacaukan jadual penerbangan secara keseluruhan.

3. Semakin meningkatnya frekuensi incident dan accident pesawat terbang, baik kecelakaan ringan yang tidak menimbulkan korban jiwa dan harta benda, maupun kecelakaan pesawat yang banyak menimbulkan korban jiwa dan harta benda.

4. Munculnya dampak iringan (nurturant effect) berupa meningkatnya tekanan dan ketegangan mental (stress) awak pesawat yang melampaui ambang batas jam terbang dan jadual terbang yang ketat, sehingga memiliki kecenderungan untuk mengatasinya dengan jalan pintas berupa pelarian dengan cara menggunakan obat-obatan terlarang dan zat psikotropika seperti sering diberitakan oleh media massa akhir-akhir ini.

Berbagai dampak tersebut di atas bila tidak diatasi secepatnya dan secara simultan hingga tuntas, tentu pada gilirannya akan berakibat fatal pada keselamatan penerbangan nasional dan menurunnya kepercayaan dunia internasional terhadap penyelenggaraan penerbangan di Indonesia. Seperti pernah terjadi beberapa tahun yang lalu dimana Air-Banned, yaitu sanksi pembatasan zona terbang bagi pesawat dari maskapai penerbangan nasional, diberlakukan oleh dunia internasional kepada penerbangan nasional yang dampaknya amat merugikan dunia penerbangan di tanah air dan perekonomian nasional pada umumnya.

D. Solusi atas Krisis Pilot

1. Perbanyak sekolah pilot dan diberi subsidi oleh pemerintah dalam pengadaan pesawat latih dan simulator serta pendukungnya yang memadai agar dalam kurun waktu tertentu mampu menghasilkan pilot untuk mengatasi krisis kekurangan pilot di tanah air. Perlu diingat bahwa sedikitnya pilot yang dihasilkan oleh sekolah pilot dan lamanya waktu untuk menghasilkan pilot oleh sekolah pilot adalah karena sedikitnya sekolah pilot, sedikitnya pesawat latih dan simulator, sedikitnya pengajar/instruktur yang ada sehingga terjadi antrian yang panjang dan lama bagi siswa calon pilot untuk berlatih hingga lulus menjadi pilot.

2. Berikan subsidi khusus kepada sekolah-sekolah pilot dari pemerintah agar mampu menekan komponen biaya pembelajaran dan latihan sehingga biaya sekolah pilot tidak terlalu mahal dan terjangkau oleh masyarakat.

3. Berikan beasiswa dari pemerintah kepada remaja Indonesia yang berbakat dan ingin menjadi pilot sebagai crash program untuk mengatasi krisis kekurangan pilot.

4. Lakukan reduksi dan restitusi atau hilangkan samasekali pajak barang mewah bagi peralatan yang diimpor oleh sekolah-sekolah pilot, khususnya untuk pengadaan pesawat latih, simulator, dan pendukungnya.

5. Hal sebaliknya kenakan pajak penghasilan yang tinggi bagi para pilot yang berasal dari luar negeri dan alokasikan untuk menyubsidi sekolah-sekolah pilot dan beasiswa bagi siswa sekolah pilot.

6. Tingkatkan penegakkan hukum (law enforcement) oleh Kementrian Perhubungan cq. Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sebagai regulator untuk memberikan sangsi yang tegas kepada para operator (maskapai) penerbangan yang melanggar ketentuan, menyangkut:

a. Pembatasan jam terbang bagi para pilotnya sehingga tidak terjadi over-work sesuai dengan pembatasan jam terbang pilot yang dikeluarkan ICAO dan tertuang dalam CASR.

b. Pembatasan ekspansi bisnis penerbangan yang tidak mempertimbangan ketersediaan SDM untuk menjalankannya.

7. Naikkan honor bagi para pengajar/instruktur sekolah pilot sehingga semakin banyak pilot yang mau mengajar dan melatih para calon pilot di sekolah-sekolah pilot/sekolah penerbang.

8. Tingkatkan kinerja yang harmonis dan bersinergi antara para pihak penentu kebijakan (bunt-end) dan pelaksana kebijakan (sharp-end) di dunia penerbangan, yaitu antara legislator, regulator, operator, dan SDM penerbangan sehingga diperoleh kesamaan persepsi, kesamaan bahasa, kesamaan langkah dan gerak untuk mengatasi krisis pilot khususnya dan berbagai krisis lainnya di dunia penerbangan di tanah air. Jargon Percieve newly, thinking globally, acting locally amatlah relevan dijadikan pegangan oleh para pihak terkait di dunia penerbangan dalam mengatasi krisis ini.

Semoga bermanfaat. Jayalah penerbangan Indonesia.

Have a nice flight and happy landing..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar